Arsip

Archive for the ‘MOKSHA’ Category

>Renungan Tentang “Mati Sajroning Ngaurip”, Jivan-Mukta, Moksha Selagi Hayat Masih Dikandung Badan

>

Di depan sebuah laptop yang menampilkan sebuah Blog dari WordPress, sepasang suami istri membicarakan buku “Vedaanta Harapan Bagi Masa Depan”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Suami: Istriku, mari kita lihat kiriman teman dalam blog yang berisi perjalanan kehidupan. Bukan suatu kebetulan bila seorang teman di kala mahasiswa mengirimkan penjelasan Tembang Jawa secara kronologis, sesuai tahapan kehidupan. Diawali Tembang “Maskumambang”, emas yang “kumambang”, terapung, saat manusia berwujud janin yang terapung dalam air ketuban. Kedua “Mijil” berarti keluar dari goa garbanya sang ibu, di saat kelahiran. Dilanjutkan “Kinanti”, di-“kanthi”, digandeng tangannya diajari berjalan menapak kehidupan. Kemudian “Sinom”, menjadi “nom-noman”, remaja usia belasan. Setelah itu “Asmaradhana”, gelora asmara sewaktu dewasa, dalam rangka mencari pasangan. Selanjutnya memasuki “Gambuh” gabungan, membentuk rumah tangga untuk membuat anak keturunan. Selanjutnya “Durma”, aktif berdharma bhakti bagi negara sebagai pahlawan. Diteruskan “Dhandhanggula”, mengolah “gula”, menikmati manisan kehidupan. Kemudian sudah saatnya “Pangkur”, mungkur, undur diri dari keduniawian. Diteruskan “Megatruh”, persiapan “megat” ruh, memisahkan ruh dari badan. Akhirnya “Pocung”, dipocong ditutupi kain kafan.

Sang Istri: Benar juga kata para orang tua, bahwa banyak orang yang lupa “Jawa”-nya, lupa etika tata krama dan tahapan kehidupannya. Melupakan kronologis, tahapan kehidupan dari Tembang Jawa. Sudah “sepuh”, tua tetapi tak mau “mungkur” juga, tak berkeinginan mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak bisa mempercayai generasi muda, karena masih ingin memperpanjang “Dhandhanggula”, menikmati manisnya kekuasaannya. Orang yang semestinya menyanyikan lagu pucung yang penuh canda ria, gembira dipanggil Yang Maha Kuasa, masih menembangkan “Kinanthi”, tidak berani memberdaya diri sendiri juga. Bahkan ada juga yang hidupnya seperti “Maskumambang”, menangis terombang-ambing ombak kehidupan dunia.

Sang Suami: Saya ingat nasehat almarhum profesor saya bahwa kehidupan batin seseorang semestinya lebih tua daripada kondisi fisiknya. Usia boleh tiga puluhan, tetapi sebaiknya sudah empat puluhan usia kehidupan batinnya. Usia boleh empat puluh limaan, tetapi sudah pensiunan kehidupan batinnya. Sayangnya kebalikannya yang sering terjadi. Usia setengah baya pergi ke disko setiap hari. Kijang tua karoseri tahun 80-an dipakai “ngebut pol” di jalan tol Jagorawi. Berapa lama sih daya tahan diri?

Sang Istri: Profesor itu sudah memahami antara kedewasaan dan ketahanan diri. Tetapi mengapa beliau tidak lebih progresif lagi? Mengapa setelah tua baru berpikir mati? Mengapa tidak berpikir tentang mati pada saat ini? Bukankah fisik manusia tidak abadi? Sedangkan keinginan tidak punya batasan. Sehingga menjelang ajal selalu ada kekecewaan. Terlambat sudah datangnya penyesalan.

Sang Suami: Para leluhur mempunyai ungkapan “mati sajroning ngaurip”, selagi hidup sudah mati. Hampir sama dengan istilah zuhud, melepaskan keterikatan terhadap duniawi. Bagi musafir perjalanan Ilahi, mengikatkan diri pada keduniawian berarti perjalanan terhenti. Ada juga ungkapan leluhur, bahwa hidup hanya sekedar mampir minum, berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalanan lagi. Intinya hidup perlu dijalani tanpa keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi………

Sang Istri: Benar suamiku, selama masih mempunyai keterikatan, hidup yang nampak “bebas” dalam dunia tidak menjamin kebebasan bagi jiwa. Sesungguhnya, dunia ini sendiri merupakan kurungan bagi jiwa. Jiwa kita jauh lebih luas daripada dunia di mana kita berada. Dunia kita sangat sempit dan menyesakkan jiwa. Kebahagiaan datang dari kebebasan jiwa. Jiwa yang masih belum bebas, yang masih terkurung, tidak paham kebebasan itu apa…… Kita takut mati seperti narapidana yang sedang menunggu hukuman mati. Narapidana tersebut lupa arti kebebasan diri. Yang dikejar hanyalah kesenangan-kesenangan tak berarti dalam bui. Kesenangan di tengah ketakutan akan datangnya hukuman mati. Kita sudah terbiasa hidup dalam penjara diri. Meski terbelenggu konsep-konsep keliru, dan terpenjara oleh tradisi-tradisi yang memperbudak jiwa, tetap saja tidak kita sadari. Padahal penjara diri hanya berupa pola pikiran tertanam yang bisa dilampaui. Manusia bisa keluar dari belenggu pikiran menuju kebebasan sejati.

Sang Suami: Sri Mangkunagoro IV dalam kitab Wedhatama menyatakan bahwa seseorang yang tidak sadar adalah orang yang sakit, tidak sehat jiwanya. Beliau tidak menjatuhkan vonis, bahwa orang yang tidak sadar itu berdosa. Pandangan Beliau akan dibenarkan para ahli ilmu jiwa. Yang sakit jiwa, merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar tahta, ketenaran dan harta. Sedang sakit, seseorang ingin menonjolkan dirinya. Yang sakit jiwa merasa begitu kosong, tak berdaya, sehingga membutuhkan pengakuan dari masyarakatnya. Padahal tahta, ketenaran, harta dan pengakuan masyarakat adalah keterikatan nyata. Tanpa itu semua, dia tidak bahagia. Dia terpenjara oleh keterikatannya. Dia tidak sadar bahwa dirinya sakit jiwa.

Sang istri: Moksha atau Kebebasan bukanlah sesuatu yang harus dikerjakan menjelang akhir kehidupan. Moksha tidak berada di ujung kehidupan sebelum datangnya kematian. Moksha harus diupayakan saat ini juga. “Jivan-Mukta” atau “Bebas dalam Hidup” adalah sesuatu yang tidak dapat ditunda. Tanpa kebebasan itu, manusia tidak mampu untuk mengungkapkan kesempurnaannya. Begitu penjelasan dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Suami: Sebetulnya, setiap agama mengajak kita untuk mengalami kematian selagi masih hidup, masih bernyawa. Kematian yang dimaksud adalah kematian ego kita, keangkuhan kita, kesombongan kita, kesia-siaan kita, kebodohan kita, ketaksadaran kita, keserakahan kita, kebencian kita, keirian kita, kecemburuan kita, dan lain sebagainya. Banyak yang malas untuk mengupayakan surga dalam kehidupannya. Mereka yang masih terbakar oleh hawa nafsu dan enggan untuk mematikan api tersebut, sudah pasti menolak Moksha.

Sang Istri: Kebebasan yang disebut Nirwana, adalah padamnya api nafsu yang menyebabkan derita. Nirwana pun haruslah terjadi selagi kita masih bernyawa. Paripurna atau Maha Nirwana, Nirvana Yang Sempurna yang terjadi saat kematian, hanyalah bersifat simbolik saja. Semacam pengukuhan dari semesta yang diperoleh setelah seorang suci mengalaminya terlebih dahulu dalam kehidupannya. Moksha, Nirwana, Surga, Kerajaan Allah dan banyak istilah lainnya, namun yang dimaksud adalah satu dan sama …… “The Blossoming of Human Excellence”, Berkembangnya kemanusiaan dalam diri Manusia. Itulah Kesempurnaan Diri Manusia.

Sang Suami: Moksha, dalam pemahaman Vedaanta, bukanlah pembebasan dari pikiran-pikiran rendah dan hina saja, tetapi pembebasan dari pikiran itu sendiri. Tidak pula berarti bahwa kita harus membenci pikiran atau menafikan sama sekali….. Pikiran perlu dibebaskan dari segala macam keinginan. Bukan saja keinginan untuk mendapatkan kedudukan dan ketenaran, keinginan untuk mati syahid pun keinginan. Keinginan untuk menemukan Tuhan pun keinginan. Sesungguhnya keinginan-keinginan kita itu justru memisahkan kita dari-Nya. Keinginan untuk menemukan sesuatu yang sebetulnya ada. Hilangnya Tuhan dari hidup kita betul-betul karena keinginan kita untuk menemukan-Nya. Karena “kehilangan Tuhan” itu terjadi dalam pikiran kita. Kehilangan itu adalah ilusi pikiran kita. Untuk menemukan kembali apa yang “terasa” hilang itu, kita harus menaklukkan perasaan kita. Kita harus mengoreksi sendiri pikiran kita……… Vedaanta menyatakan bahwa pikiran bukanlah segalanya. Logika adalah hasil dari sebagian otak saja. Dari bagian kiri otak, dan masih ada bagian kanan yang sama besarnya. Masih ada juga batang otak yang bekerja untuk mengkoordinasikan apa yang ada di otak kanan dan otak kirinya. Masih ada bagian lymbic yang berisi insting-insting dasar manusia. Vedaanta melihat manusia sebagai satu kesatuan. Pikiran adalah bagian kecil dari kesatuan. Dan, logika adalah bagian kecil dari pikiran. Jika menjalani hidup berdasarkan logika saja, maka tak akan meraih kesempurnaan. Jelas tidak bisa, karena hanya mengembangkan satu bagian. Bebaskan diri dari kekerdilan! demikianlah seruan Vedaanta. Bebaskan diri dari ketergantungan pada logika. Karena, apa yang disebut logika atau pikiran logis itu hanyalah berdasarkan ilmu yang diperoleh selama hidupnya. Yang ada keterbatasannya.

Sang Istri: Moksha bukanlah urusan akhirat, urusan laduni atau dunia lainnya. Moksha adalah urusan dunia. Jiwa yang tidak bebas hanya dapat berhamba. la sangat miskin dan tidak mampu berbuat sesuatu yang berharga. Sebab itu, terlebih dahulu ia harus mengupayakan kebebasan bagi dirinya. Moksha adalah Kebebasan untuk Berpikir, Kebebasan untuk Merasakan, Kebebasan untuk Berkarya. Hanyalah seorang Manusia Bebas yang dapat mengungkapkan Kemanusiaannya. Namun, Kebebasan yang dimaksud bukanlah Kebebasan anarkis juga. Kebebasan yang dimaksud adalah Kebebasan yang Bertanggung-Jawab, Kebebasan yang Menguntungkan bagi Seluruh Jagad Raya.

Sang Suami: Bumi berputar tiada hentinya. Dia tak punya keterikatan dengan peristiwa yang terjadi di atas permukaan dirinya. Matahari pun selalu bersinar. Tidak punya keterikatan, tidak terpengaruh banyaknya orang sadar maupun tak sadar. Apa yang terjadi bila bumi beristirahat sebentar? Semua yang ada di atas permukaan bumi terlempar. Apa yang terjadi bila matahari jenuh bersinar? Semua makhluk kedinginan dan punah, tak ada kehidupan yang mekar…… Bisakah kita meneladani mereka. Bertindak luhur, penuh kasih dan mulia. Tidak punya keterikatan dengan apa pun juga. Merekalah contoh yang tidak punya keterikatan selain menjalankan dharmanya……. Usia boleh menua, akhirnya fisik akan di daur ulang Sang Kala. Akan tetapi Kasih dalam diri abadi sepanjang masa. Setiap saat penuh Kasih terhadap alam semesta, hidup dalam kekinian, lepas dari jerat putaran Sang Kala. Terus berkarya dalam putaran Dharma. “Mati sajroning ngaurip”, sudah mati keinginan pribadi terhadap keduniawian yang fana. “Mati sajroning ngaurip” merupakan ajaran luhur, yang telah lama terkubur, saatnya bangkit dari “tidur”…… Semoga.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva.

Sumber : triwidodo.wordpress.com/2010/06/01/renungan-tentang-“mati-sajroning-ngaurip”-jivan-mukta-moksha-selagi-hayat-masih-dikandung-badan/

Kategori:MOKSHA

>Durga Dewi 2 – Moksha

>Dasar-dasar paham Tantra timbul sebelum bangsa Arya datang di India dan merupakan kepercayaan India kuno. Pada peradaban lembah sungai Sindhu, dasar-dasar paham Tantra ini telah terlihat, yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Pada salah satu sloka lagu pujaan, sakti digambarkan sebagai penjelmaan kekuatan, penyokong alam semesta, sehingga dengan demikian ‘Saktiisme” sama dengan ‘Kalaisme’.

Hubungan antara konsepsi dewi dari dewi itu munculah saktiisme, yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada sakti, yang merupakan suatu kekuatan dari para dewa. Pemuja sakti ini disebut dengan sakta atau sekte. Turunnya Dewi Durga ke bumi pada jaman kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan prilaku. Dalam masa peperangan antara suku bangsa arya dan non arya, lahirlah seorang Agung bernama Sadashiva, artinya dia yang selalu terserap dalam kesadaran dan dia yang bersumpah satu-satunya, dengan kehadirannya bahwa misinya hanyalah untuk memajukan kesejahteraan menyeluruh semua kehidupan. Sadashiva dikenal juga sebagai Shiva, adalah seorang guru rohani yang istimewa. Meskipun ajaran Tantra sudah dipraktekan sejak sebelum kelahirannya, namun beliaulah yang pertama kali mengungkapkan perkara rohani secara sistimatis bagi umat manusia.

Bukan saja Beliau adalah seorang guru spiritual, namun Beliau juga pelopor sistim musik dan tari-tarian. Oleh karena itu Beliau terkadang dikenal pula sebagai Nataraja (Tuhan penata tari). Sumbangan terbesar dari Shiva adalah pada kelahiran peradaban yang baru, juga pengenalan konsep dharma. Dharma adalah suatu kata sangsekerta yang berarti; sifat dari sananya, milik sesuatu hal.

Apakah yang menjadi sifat alamiah dan kekhasan manusia?

Shiva menerangkan, bahwa manusia selalu menginginkan lebih, lebih daripada kenikmatan yang diperoleh dari kepuasan indrawi. Beliau mengatakan bahwa manusia berbeda dengan tanaman dan binatang karena apa yang sangat diinginkan oleh manusia adalah kedamaian mutlak. Itu adalah tujuan manusia, dan ajaran Shiva ditujukan untuk memberdayakan manusia untuk mencapai tujuan itu. Ajaran Shiva disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru dikemudian waktu dituliskan ke dalam bentuk buku.

Istri Shiva adalah Parvati, sering bertanya pada Beliau mengenai berbagai pengetahuan rohani. Shiva memberikan jawabannya sebagian dalam buku-buku kuno dan itu telah hilang serta sebagian lagi ada di dalam dharma itu sendiri sehingga nilai kebenaran yang ada dalam dharma disebut dengan dharma tanpa sastra.

Di dalam ajaran Tantra satra, salah satu unsur utama dalam Tantra adalah hubungan guru dan murid. Guru adalah, atau berarti seseorang yang dapat menyingkirkan kegelapan dan Shiva menjelaskan bahwa agar diperolehnya keberhasilan rohani harus ada guru yang baik dan murid yang baik.

Shiva menjelaskan, bahwa ada tiga jenis guru:

Pertama, adalah guru yang memberikan sedikit pengetahuan namun tidak menindak lanjuti pengajarannya. Jadi sang guru pergi dan meninggalkan sang murid. Kedua, adalah sang guru mengajarkan dan mengarahkan para muridnya sebentar namun tidak selama masa yang diperlukan si murid untuk mencapai tujuan akhir. Ketiga, dalam ajaran Tantra, guru ini adalah guru terbaik yang memberikan pengajaran dan kemudian mengupayakan terus menerus agar si murid mengikuti semua petunjuk dan sampai menyadari tujuan akhir kesempurnaan manusia.

Ciri guru yang istimewa menurut petunjuk yang saya peroleh dari dewa Shiva adalah: Guru yang tenang, dapat mengendalikan pikirannya, rendah hati dan berpakain sederhana, dia memperoleh penghidupannya secara layak dan berkeluarga. Dia ahli dalam filsafat metafisik dan matang dalam seni meditasi. Dia juga tahu praktek teori pengajaran meditasi. Dia mencintai dan menuntun para muridnya. Guru yang seperti demikian disebut atau akan diberi gelar oleh Shiva yaitu; Mahakoala.

Namun meskipun ada seorang guru yang hebat, tetap saja harus ada yang dapat menyerap pelajarannya.

Dewa Shiva mengatakan kepada saya, ada tiga jenis murid:

Pertama seorang murid yang berlaku baik di depan gurunya, namun begitu gurunya pergi, murid itu tidak melanjutkan latihannya dan tidak dapat menerapkan pelajarannya dalam kesehariannya. Yang kedua, murid seperti ini adalah yang tekun saat kehadiran gurunya namun perlahan-lahan akan berkurang bahkan meninggalkan latihannya sama sekali. Dan yang ketiga, adalah murid yang paling mulia dan sempurna yang dikatakan oleh Dewa Shiva, murid seperti ini, tekun berlatih di hadirat gurunya dan terus tekun biarpun secara fisik terpisah jauh dari gurunya.

Hubungan antara guru dan murid sangatlah penting dan merupakan ciri kunci dalam mencapai moksha atau kesempurnaan. Jalan rohani sering disamakan dengan sisi tajam pisau cukur. Mudah sekali keluar dari jalur dan dengan demikian memang sulit memperoleh pembebasan. Sang guru selalu hadir untuk mencintai dan menuntun si murid pada setiap tahap upayanya untuk mencapai kesempurnaan atau moksha.

Ada empat jenis moksha yang diharapkan dalam setiap bentuk jalan rohani atau jalan spiritual:

Samipya moksha yaitu kebebasan yang dicapai pada saat semasih hidup yang dibantu oleh para rsi atau sang guru dan mampu memberikan pencerahan itu kepada umat lainnya dan mampu menerima petunjuk-petunjuk, wahyu, atau pawisik dari Tuhan dalam segala bentuk perwujudannya.

Sadarmmya moksha
yaitu kebebasan yang diperoleh dari kelahirannya kembali atau reinkarnasi dari para Dewata atau Awatara wisnu seperti Awatara Krisnha, Awatara Budha Gautama, dan lain lain.

Karma mukti yaitu kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri yang telah berada dalam posisi hampir sama dengan Samipya dan Sadarmmya moksha tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan dalam arti belum menerima petunjuk-petunjuk, wahyu atau pawisik. Cara ini biasanya dilakukan dengan cara menggumpulkan karma-karma positip dan tekun mejalankan dharma serta tekun menjalankan meditasi dan yoga.

Purna mukti
yaitu kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan. Dalam tahapan Purna Mukti, ada tiga jenis moksha, yaitu:

  • Nista moksha, yaitu seseorang tahu kapan akan meninggal dunia sesuai dengan aturan langit atau aturan maha suci.
  • Madya moksa, yaitu badan kita bersatu dengan Tuhan/Brahman tetapi masih menyisakan pakaian dan atribut-atribut lainnya yang berunsur duniawi.
  • Utama moksha, yaitu moksha yang paling sempurna dalam tahapan moksha yaitu bersatunya kita dengan Tuhan/Brahman dari badan sampai pakaian yang digunakan oleh yang mengalami moksha.

Dalam kesempatan berbeda Pinisepuh juga menjelaskan bahwa kejadian Utama Moksha adalah kejadian semesta. Saat mana seseorang mengalami moksha utama maka semua komponen alam menjadi aktif. Akan ada hujan mendadak dari terang menjadi mendung yang sangat pekat dan gelap. Petir dan halilintar bergemuruh dan bersahut-sahutan. Angin bertiup sangat kencang bagai badai yang sangat hebat. Pertanda alam ini adalah sangatlah khas dan tidak menjadikan bencana bagi umat manusia namun bagi manusia wikan akan sangat paham dan berkata: “Ada seseorang tengah mencapai kesempurnaan dalam hidupnya dan menyatu dengan Brahman. Ada seseorang yang mengalami Moksha”.

Pada kesempatan lainnya juga saya bertanya kepada Pinisepuh, bagaimana sebenarnya proses moksha utama tersebut. Diterangkan bahwa, proses moksha yang diketahui adalah seseorang dalam meditasinya akan mengalami tubuh yang mengecil dan terus mengecil sampai badan kasar dari manusia tersebut hilang dari pandangan mata biasa. Namun diceritakan pula bahwa, jaman dahulu ada banyak juga dari aliran kiri yang mencapai tingkatan tinggi dalam pengetahuannya melakukan meditasi dan mencapai moksha. Tetapi dari aliran kiri, pada proses pengecilan raga ada yang gagal menyatu dengan Brahman. Pada proses moksha tersebut berhenti pada ukuran tubuh tertentu, seperti yang pernah saya lihat di pameran yaitu sepanjang lebih kurang 10 centimeter. Badan kasar atau raga menjadi berwarna hitam. Jaman sekarang banyak terdengar istilah seperti ‘Jenglot’ atau sebagian dikenal juga dengan nama ‘Bhatara Karang’. Sebenarnya, Jenglot dan Bhatara Karang adalah manusia yang gagal dalam proses mencapai moksha. Dipercaya juga kalau benar cara memperlakukan Jenglot ini, maka akan bisa melindungi yang memilikinya.

Kembali kepada ajaran Tantra, bahwa dalam Tantra dinyatakan, menghadapi kemelutnya hidup di jaman kali yuga ini adalah dengan memprioritaskan pemujaan sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti adalah Tuhan. Karena pada jaman kali ini semakin kuat sinergi antara guna rajas dan guna tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malasan. Dalam Tantra mengajarkan hidup enak itu baik tapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak dengan cara bekerja keras. Seseorang bisa bekerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Dewi Durga adalah simbul semua kekuatan penciptaan. Kekuatan gabungan akan muncul jika kekuatan jahat mengancam keberadaan ciptaan-Nya. Jadi Dewi Durga akan menghancurkan ketidakharmonisan atau kejahatan serta akan menciptakan kembali keadaan yang harmoni karena keberadaan Dewi Durga adalah untuk menciptakan dharma.

Jadi petunjuk-petunjuk yang saya peroleh hanya sebatas menuntun dan memperingatkan umat manusia agar tetap ingat dan tetap melaksanakan ajaran dharma karena beliau Sang Hyang Sadashiva sudah menjelaskan kepada saya bahwasanya di jaman Kali Yuga ini, manusia sudah melupakan sifat dharma di dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai contoh, di dalam dharma, dijelaskan ada tiga dasar dharma dalam kehidupan manusia yang harus dilaksanakan, yaitu : Filsafat, Etika dan Ritual. Jaman sekarang, manusia sudah banyak melupakan tiga dasar dharma itu.

Sumber: Pinisepuh Agung

http://www.dharmagiriutama.org/durga-moksha.html

Kategori:MOKSHA